Iklan

Buku Utakata no Haru (The Broken Spring)

Konten [Tampil]


 

www.mikromediateknologi.com - Menyajikan kisah memalui pengalaman kehidupan dengan setting luar negeri, tentu saja banyak hal menarik yang bisa dijumpai. Keunikan bagi novel ini bertema tentang “kisah seorang ahli hidrogeologi Indonesia di Jepang” dengan serba-serbinya. Mulai dari pencarian, pertemanan, gempa, hingga tsunami. Penulis begitu piawai meramu cerita sehingga sebagai pembaca bisa belajar pola kehidupan dan memanen ilmu sebanyak-banyaknya.

 


 

Buku Utakata no Haru (The Broken Spring) 

Kejutan di Sapporo

Pertemuan IUGG, The International Union of Geodesy and Geophysics di Sapporo sebenarnya masih beberapa hari lagi, tetapi Sadi memutuskan datang lebih awal. Dia berencana untuk memenuhi keinginannya mengunjungi Hakodate, kota yang belum sempat dikunjungi selama masa sekolah di Jepang. Menghadiri pertemuan ilmiah yang umumnya diselenggarakan di Tokyo atau kota yang lain di Jepang juga tidak memberikan kesempatan baginya untuk mengunjungi kota ini.


Hakodate merupakan kota pelabuhan yang terletak di salah satu semenanjung kecil di selatan Pulau Hokkaido. Kota ini menghadap langsung ke Selat Tsugaru yang menghubungkan Laut Jepang di barat dan Lautan Pasifik di sebelah timur. Sebagai kota pelabuhan dan nelayan, ikan laut limpah ruah di sini dan menjadi surganya makanan Jepang.


Malam itu, Sadi ditemani Miyakoshi, Hayashi, dan Umezawa. Mereka adalah teman Sadi saat sama-sama sekolah di Chiba University dan akan ikut pertemuan ilmiah di Sapporo. Miyakoshi sekarang menjadi dosen di Akita University dan tidak keberatan untuk menemani. Begitu pula Hayashi yang pada saat itu bekerja di GSJ, Tsukuba, dan Umezawa yang menjadi dosen di Ryukyus University, Okinawa. Mereka menginap di hotel dekat pantai untuk memudahkan akses ke lokasi agar sekaligus bisa memandangi Hakodate yang terang benderang pada malam hari dan Selat Tsugaru yang dipenuhi nelayan. 


Sashimi menjadi menu utama mereka saat itu yang tentunya dilengkapi cawan mushi jagung dengan topping uni atau daging bulu babi, tak lupa miso soup yang dicampur irisan rumput laut gurih. Ikan mentah segar pun terasa manis di lidah karena memang masih sangat segar, termasuk beberapa menu lain yang tidak Sadi ketahui namanya. Menu-menu itu secara cepat sudah tersaji di hadapan mereka, tampak enak dipandang mata, enak pula di lidah. 


Seperti biasa, minum bir adalah suatu keharusan di Jepang bila sedang kongko bersama teman-teman. Untuk menghormati ketiga teman yang sudah bersedia menemani, malam itu tidak seperti biasanya Sadi ikut minum bir, meskipun secukupnya saja. Makanan Jepang dan bir sepertinya memang pasangan yang cocok. 


Sampai tengah malam, mereka bernostalgia kembali ke masa-masa sibuk di kampus Nishi Chiba dan menyantap makanan Indonesia di Kedai Popoki yang berlokasi tidak jauh dari pintu keluar kampus. Juga bergunjing tentang Tanaka Sensei yang meskipun sangat baik, tetap saja menyebalkan kalau sedang mabuk di akhir pekan. 


Langit tanpa awan di atas Kota Hakodate dan keseluruhan Selat Tsugaru menjadikan malam itu terasa nyaman dan menakjubkan. Bintang berkelap-kelip tanpa lelah demi membuat penghuni alam lainnya merasa bahagia. Rasanya susah untuk mendapat suasana demikian di Indonesia. Beberapa pasangan terlihat menikmati malam yang menakjubkan di sepanjang pantai yang tersedia “bangku mesra”, bangku yang pas untuk berdua, dan memang menunjang suasana untuk meningkatkan rasa sayang terhadap pasangan, baik istri maupun kekasih. 


Suasana indah, menawan, dan romantis itu tak mengusik Sadi dan kawan-kawannya. Mereka lebih asyik bernostalgia hingga merasa mengantuk. Sadi baru bisa menikmati keindahan Selat Tsugaru dari kamarnya sebelum tidur, walaupun hanya sebentar. Tidak salah kalau dia memilih untuk singgah dulu ke kota ini. Selain untuk melengkapi lembaran kenangan tentang Jepang, juga menikmati keindahan alamnya. Tamasya ini memang akan lebih menyenangkan bila dilakukan bersama keluarga.


Sadi dan teman-temannya pergi ke Sapporo dengan menggunakan kereta api setelah dua malam di Hakodate. Meskipun sudah memasuki awal bulan Juli, temperatur di Hokkaido masih terasa dingin bagi orang-orang yang datang dari daerah khatulistiwa. Tanaman palawija seperti jagung, kentang, gandum, bawang bombai, dan kacang kedelai yang menjadi andalan utama pulau ini sudah mulai menghijau dan berbunga. Hal tersebut terpapar jelas di daerah pertanian di sepanjang jalan kereta api dari Hakodate ke Sapporo.



Tentang Penulis 

Robert Delinom dilahirkan di Prabumulih, Sumatra Selatan. Pendidikan dasar dan menengah pertama dilaluinya di Prabumulih, menengah atas di Bandung, S-1 di Bandung (ITB), S-2 di Belanda (Twente University/ITC), dan S-3 di Jepang (Chiba University). Menjadi peneliti di Pusat Penelitian Geoteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sejak tahun 1986 dan sekitar 135 publikasi berupa artikel ilmiah telah dihasilkan, baik dalam jurnal, prosiding nasional, internasional, ceramah, kuliah umum, bagian buku bunga rampai, dan tulisan semi populer di beberapa majalah nasional. Tahun 2019 pernah menerbitkan novel dengan judul Kasumba oleh Penerbit HALIMA di Bandung. Penulis sampai saat ini bermukim di Bandung. 

 

Pemesanan Buku 

Novel ini bisa dipesan dengan mengisi format sebagai berikut:

Nama :

Alamat lengkap : 

No. HP : 

Jumlah yang dipesan: 

Kirim ke WhatsApp 0813-1083-2071 

 

Tersedia juga di Google Play Book, klik di sini.

 

 

Salam 

Mikro Media 



Subscribe Our Newsletter

Related Posts

Buka Komentar
Tutup Komentar

Posting Komentar

klan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel