Iklan

Di Bawah Pohon Jambu

Konten [Tampil]


 

Di Bawah Pohon Jambu


Langit bagai kapas yang berhamburan, putih, bersih, dan cerah. Sore ini tak biasanya begitu terang dan sejuk. Semilir angin sepai-sepoi menggerakkan rambut panjangku. Poniku yang tebal pun ikut tersapu. Netraku melirik ke arah pohon buni, ada ibuku yang sedang menyapu dengan wajah yang pilu. ”Bu, boleh aku bantu?”


Tanpa menunggu jawaban ibu, aku sudah mengangkat dua keranjang sampah daun kering.
Wanita paruh baya itu menahanku. Tampak diwajahnya sebuah ketidakberdayaan.”
“Tak usah, Lan. Biar ibu saja. Sana istirahat!” sambil tangannya menunjuk ke arah gubuk, di bawah pohon jambu besar.

Gubuk bukan sembarang gubuk, dibuat oleh kakekku untuk memantau sawah kami. Beratap daun rumbia,dengan dinding dari bilik bambu. Di dalamnya terdapat bale besar (kayu yang dibuat untuk tempat duduk atau lesehan, berukuran persegi, bergaya panggung. Bale besar cukup untuk tiga orang dewasa tidur rebahan). Tempat duduk melepas lelah, juga tempat menyantap makanan.

Sawah yang luas ini, dulu ditanami jagung. Sejak kakek semakin tua, ditanami berbagai macam buah, tanaman dan juga kolam ikan. Gubuk ini berada di tengah sawah. Di sini kita bisa berteduh dan menikmati pemandangan sawah. Tak jarang, kakekku berjumpa tengkulak yang hendak memborong hasil sawah. Biasanya mereka membeli buah jambu. Jambu biji lokal, jambu bangkok dan jambu air, di sini ada 3 jenisnya.

Sawah milik kakek ini, paling banyak diincar tengkulak. Selain buah-buahnya melimpah, juga banyak jenisnya. Ada lagi buah nangka. Pohonnya ada di pinggir sawah, dekat dengan pagar samping.

Di bagian bawah banyak juga pohon kelapa.
“Satu, dua, tiga, empat, lima!”
Ada lima pohon kelapa di bawah. Selain sebagai pembatas pagar, juga sebagai minuman segar di kala dahaga menyerang. Kakekku jago sekali memanjat. Set-set set, kelapa muda dan segar berjatuhan. Aku dan kakekku akan membawanya ke gubuk. Kemudian, kita minum air kelapa bersama. Sambil bercerita, gigi kakek yang sudah ompong akan terlihat jelas jika kakek sedang tertawa lepas. Sungguh senangnya, masa itu. Sekarang, kelapa-kelapa itu selalu menghilang, tak pernah tahu siapa yang memetiknya.

Aku kangen kakek, cerita-ceritanya dan petuah-petuahnya.
“Lan, kakek ingin kamu jadi anak kuat, jangan selalu minta dimanja ibumu,”
“Ya, Kek. Lani mau jadi cucu kakek paling kuat. Lani mau manjat pohon jambu, pohong nangka,  kelapa, ya, Kek?” Kami pun tertawa lepas. Kakek mengajari banyak hal. Ia tak pernah memandangku anak perempuan kecil yang lemah. Sedini mungkin harus mandiri, karena kakek tahu tak bisa selalu menjagaku selamanya.

“Tuh kan, kamu kelelahan, pulang sekolah tidur saja di gubuk. Tadi ibu bilang berkali-kali, kamu tidak dengar, Lan!” Ibu ketus.
“Hmm… Bu, bukan itu, Bu …” jawabku kikuk. Sudah lama aku tidak sekolah, tetapi ibu selalu menganggapku sekolah.

Ada hal lain yang aku pikirkan. Aku tidak sedikit pun lelah dan hati kecilku merasa bersalah jika melihat ibu menggantikan kakek di sawah ini. Ibu kelelahan dari pagi, mulai dari bersihkan sampah, membetulkan pagar yang berkali-kali di bobol orang.

“Sudah tidur, jangan angkat berat-berat, nanti kamu jadi perempuan berotot. Teman-temanmu akan lari, masa ada anak perempuan berotot. Satu lagi, jangan angkat ranting dan kayu-kayu untuk bantu betulkan pagar, nanti tanganmu rusak dan kasar. Biar ibu saja, ibu sudah tua,”

“Bu,” aku memeluk ibu, tak terasa bulir bening mengalir tanpa ku minta.
“Dengarkan ibu, nanti kamu jadi anak yang sukses, fokus saja belajar.” Ibu menatap ke langit. Ada mendung yang ditahan.

Ibu wanita kuat, sejak kecil aku tak pernah melihat ayahku. Ibu bilang ayah telah tiada sebelum aku lahir. Kakek yang membantu kebutuhan sehari-hari kini sudah pergi juga selamanya. Ayah, kakek, aku kangen. Kini, aku harus kuat dan harus bisa menjaga ibuku.

“Bu, teman sejati Lani adalah ibu. Jika ibu pergi maka Lani akan kehilangan kekuatan. Jika ibu sakit, Lani pun akan merasakan kesedihan. Biarlah Lani menjadi anak perempuan berotot mencangkul sawah, angkat kayu dan sampah, asal bisa bersama ibu. Tak apa tangan Lani kasar, yang penting hati Lani lembut penuh cinta dan bakti kepada Ibu. Kakek yang mengajarkan Lani semuanya, di sawah ini. Lani sudah bisa dan terbiasa.”

Guratan kesedihan terihat jelas di wajah ibu. Sejak kakek meninggal. Satu-satunya sawah ini yang jadi sumber penghasilan pun lenyap. Buah-buahan banyak yang hilang, ikan di kolam juga hilang. Pagar-pagar selalu rusak. Sedangkan ibu, susah payah merawat sawah ini agar bisa kembali seperti sediakala.

“Bu, Lani bantu betulkan pagar ya,” ucapku sambil mengangkat batang pohon singkong. Kutancapkan kuat-kuat, agar pagarnya tak dibobol orang.
“Kita sama-sama perbaiki pagarnya, ya Lani!”

Setelah pagar yang rusak telah diperbaiki, aku dan ibu duduk di bawah pohon jambu.
“sesuatu yang berat akan terasa ringan, Bu,”ucapku terbata
“Jika kita selalu bersama-sama,” sambungku.

“Ibu haus?” kutatap wajah ibu. Belum ibu menjawab, aku sudah berlari ke bawah sawah. Ada satu pohon kelapa yang masih ada buahnya. Sebelum aku memanjat, aku menatap wajah ibu. Ada rasa takut ibu akan marah padaku. Ada rasa khawatir ibu akan membenciku. Aku tidak jadi anak perempuannya yang anggun.


“Hati-hati, gadis pemberani!” suara ibu dari kejauhan. Hatiku langsung menghangat. Gerakan lincah menaiki batang pohon kelapa yang tinggi pun tak terasa. Buah kelapa muda segar siap berjatuhan. “Mari Bu, kita minum air kelapa bersama,”


“Lani, dulu  nenek itu tak mengajari ibu bertani, harus di rumah saja,nanti menikah tidak dengan seorang petani lagi,” terang ibu.
“Makanya ibu tidak bisa apa-apa, tidak sekolah, tidak bisa juga mengurus sawah kakek ini,” lanjut ibu.
Aku menatap wajah ibu lekat.
“Walau kata kakek, kemampuan bertahan hidup, semua harus dipelajari, termasuk bertani,”


“Ibu sedih, jika Lani tidak sekolah, Lani juga bekerja di sawah, ibu tidak mau,”
Setiap ibu ingin yang terbaik untuk anaknya. Tetapi, keadaan akan menjadi pelajaran hidup yang harus dihadapi.
”Bu, Lani bahagia bersama Ibu.”


“Maafkan ibu ya Lani, gara-gara ibu tidak bisa apa-apa, sekarang kamu putus sekolah,” sesal ibu.
Sejak kakek meninggal dan sawah tidak ada menghasilkan lagi, kebutuhan sehari-hari terasa sulit. Sekolah pun tak ada biaya. Ibu mengusap rambutku. Aku senang ibu sudah menerima kenyataan aku sudah tidak bersekolah.

“Bu, Lani akan berjualan buah dari sawah ini, bagaimana?”
“Hmm, jualan keliling?”
“Iya, Bu. Lani petik buah jambunya, Lani jual ke kampung-kampung. Nanti uangnya bisa buat kebutuhan dapur dan ditabung untuk sekolah lagi,” suara Lani penuh semangat.

Lani memanjat pohon jambu. Satu persatu jambu ditaruh di keranjang kayu.
”Lani bisa manjat pohon jambu, bungkus jambu, membuat cangkok, kakek yang mengajarkan semua,”
Ibu tersenyum bangga.

“Ibu juga ikut jualan berkeliling bareng Lani, ya” senyum ibu sumringah.
Lani pun ikut bahagia menatap  ibunya. Kini tak ada lagi guratan sedih di wajah ibunya.
“Lani akan sekolah lagi, Bu, kalau bisa sampi jadi sarjana Pertanian,” ucap Lani di bawah pohon jambu sambil memeluk ibu.
  





Subscribe Our Newsletter

Related Posts

Buka Komentar
Tutup Komentar

Posting Komentar

klan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel